- Pengaturan Keberadaan Pengadilan
Niaga di Indonesia
Pembentukan Pengadilan Niaga di
Indonesia didasarkan kepada UU No. 4 tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998. Undang-undang ini hanya Pengadilan
Niaga sebagai pemeriksa dan pemutus permohonan pailit, PKPU dan sengketa niaga
lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, tetapi kemudian
penetapan penyelesaian sengketa tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang
Paten, Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 19
tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini dapat dipandang sebagai penyimpangan atau
adanya inkonsistensi dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 jo Perpu No. 1 tahun
1998.
- Eksistensi Pengadilan Niaga
Eksistensi yang didiskusikan adalah
berkaitan dengan fungsinya menurut latar belakang dan tujuan pembentukannya.
Latar belakang dan tujuan pembentukan Pengadilan Niaga adalah sebagai salah
satu alat dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia.
Dilihat dari pembangunan hukum,
Pengadilan Niaga dapat berfungsi sebagai lembaga yang melakukan penciptaan,
perubahan dan penyempurnaan hukum dengan melakukan penemuan hukum. Pada Pasal
280 ayat (2) terdapat kekosongan hukum yaitu berkaitan dengan “perkara niaga
lainnya”, kecuali tentang HAKI yang telah diatur dengan Undang-Undang. Fungsi
penemuan hukum dari Pengadilan Niaga hampir belum teraktualisasi secara baik,
kalaupun mulai ada kegiatan-kegiatan tersebut, namun berkembang menjadi
“tudingan” dan bahkan dipandang sebagai “kebobrokan” penegakan hukum di
Indonesia. Terlepas dari tudingan yang ada, “kekosongan” hukum dalam “sub
spesies hukum” yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga telah diisi oleh hakim
dengan penemuan hukum. Hakim telah melakukan interpretasi, seperti tentang
“utang”. Upaya hakim untuk “meletakkan” obyek perkara niaga perlu dihargai
sebagai suatu “penemuan hukum” yang sangat berarti dalam rangka membangun
Pengadilan Niaga ke depan, seperti pada kasus: AJMI (Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia), dari sisi “penemuan hukum” terlihat bahwa hakim telah melakukan
fungsi penemuan hukumnya dalam mengartikan “utang”; pada kasus kredit pembiayaan
oleh sindikasi perbankan, hakim telah melakukan penemuan hukum berkaitan dengan
“subyek” hukum yang dapat berperkara di Pengadilan Niaga. Tidak dimanfaatkannya
Pengadilan Niaga di luar Jakarta Pusat, tidaklah harus diartikan bahwa lembaga
ini tidak bermanfaat. Keadaan tersebut harus dilihat dari berbagai sisi. Munir
Fuady mengungkapkan bahwa eksistensi Pengadilan Niaga tidak perlu diragukan
karena memang sudah kebutuhan dan banyak kelebihannya yang perlu dipertahankan,
yaitu prosedurnya cepat dengan sistem pembuktian sederhana. Hal yang perlu
dipertahankan dan diperhatikan adalah kecepatannya. Hotman Paris Hutapea
menyatakan bahwa proses penyelesaian utang-piutang melalui Pengadilan Niaga
telah menjadi pertimbangan bagi debitur untuk membayar utangnya daripada
dipailitkan.
- Paradigma Keberadaan Pengadilan
Niaga
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri
dalam sejarah kehadiran Pengadilan Niaga di Indonesia adalah tidak terlepas
dari desakan lembaga donor yang memberikan pinjaman kepada Indonesia. Bila
ditinjau dari pembentukannya, jelas bukan merupakan kehendak dan kebutuhan
utama yang disadari oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia, namun dengan
keberadaannya tertuang harapan besar agar Indonesia dapat keluar dari krisis
ekonomi secepatnya. Keberadaan Pengadilan Niaga bukanlah lembaga baru di Indonesia. Pada
Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 telah dinyatakan bahwa pada
peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan
anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, maka di dalam Pasal
280 ayat (1) Undang -Undang No. 4 tahun 1998 ditegaskan bahwa Pengadilan Niaga
berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengkhususan Pengadilan Niaga tidak hanya
dari permasalahan yang merupakan kompetensinya, tetapi juga dari proses
peradilan yang akan ditempuh oleh pencari keadilan. Peradilan Niaga mempunyai
sistem 1 sendiri, yaitu tidak mengenal upaya hukum banding, sehingga hanya ada
Pengadilan Niaga, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Dalam pemanfaatannya, pencari
keadilan kurang memahami maksud penyederhanaan yang dilakukan. Hal itu
ditunjukkan dengan banyaknya pemanfaatan upaya hukum luar biasa “Peninjauan
Kembali”. Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa dan
baru dapat digunakan pada kondisi dan persyaratan yang sangat ketat.
Kenyataannya di peradilan niaga dengan “mudah” digunakan. Tingginya angka
pengajuan Peninjauan Kembali dapat dipandang sebagai wujud kekurangpercayaan
terhadap putusan Pengadilan Niaga dan Kasasi, dan semakin menurunnya
“kewibawaan” lembaga “Peninjauan Kembali” sebagai lembaga upaya hukum luar
biasa. Persyaratan untuk mengajukan Peninjauan Kembali menurut Pasal 67 Undang-Undang
No. 14 tahun 1985, adalah:
a.
Apabila
putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian
oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.
Apabila
setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.
Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.
Apabila
mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e.
Apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.
Apabila
dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.
Persyaratan Peninjauan Kembali pada
putusan Pengadilan Niaga adalah:
a.
Terdapat
bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan
sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda;
b.
Pengadilan
Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Di samping dari persyaratan Peninjauan
Kembali, paradigma keberadaan Pengadilan Niaga dapat dilihat dari beberapa
faktor antara lain:
a.
Landasan
Keberadaan Pengadilan Niaga
Dasar hukum keberadaan Pengadilan
Niaga adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 jo
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang -Undang ini merupakan perubahan dan penyempurnaan terhadap
Undang-Undang tentang Kepailitan Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
Tahun 1906 Nomor 348. Secara implisit Pengadilan Niaga hanya untuk
menyelesaikan dan memeriksa perkara kepailitan dan PKPU, walaupun pada Pasal
280 ayat (2) dibuka kemungkinan untuk menyelesaikan sengketa di bidang niaga
lainnya. Pengadilan Niaga sudah ada, dan dengan Undang-Undang tentang HAKI
telah diperluas kompetensinya. Permasalahannya adalah sesegera mungkin perlu
ditetapkan dasar hukumnya dan sistem hukum, serta hukum acaranya. Keberadaan
Pengadilan Niaga tidak dapat hanya didasarkan kepada Undang-Undang No. 4 tahun
1998, atau Undang-Undang yang tepisah-pisah seperti yang terjadi saat ini.
Penempatan Pengadilan Niaga dalam sistem hukum dan proses beracara harus jelas
dan tegas.
Kemungkinan perluasan lingkup
Pengadilan Niaga membutuhkan landasan hukum atau dasar penetapan perluasan
kewenangannya. Diani Sediawati (2002: 4) mengemukakan bahwa perluasan
kompetensi Pengadilan Niaga seyogyanya ditujukan untuk membantu penyelesaian
atau pemutusan secara cepat agar tidak menghambat roda perekonomian dan
perdagangan.
b.
Keberadaan
Hakim Niaga
Pemeriksaan perkara di Pengadilan
Niaga dapat dilakukan oleh: hakim tetap, yaitu para hakim yang diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi hakim Pengadilan
Niaga; dan hakim Ad Hoc yaitu hakim ahli yang diangkat dengan Keputusan
Presiden. Menurut Pasal 283 ayat (1) UU No. 4 tahun 1998, persyaratan untuk
menjadi hakim Pengadilan Niaga adalah:
1) Berpengalaman sebagai hakim di
lingkungan peradilan umum.
2) Mempunyai dedikasi dan pengetahuan di
bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
3) Mempunyai sikap yang baik yaitu
haruslah berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
4) Telah mengikuti dan telah berhasil
mengikuti program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan Niaga.
Dengan adanya sistem beracara di
Pengadilan Niaga yang tidak mengenal banding, maka permasalahan yang dihadapi
adalah berkaitan dengan karir hakim. Diani Sediawati (2002: 6) mengungkapkan
bahwa dengan tidak adanya banding pada perkara Kepailitan dan PKPU, maka akan
sulit bagi hakim niaga mencapai karir hakim tertinggi.
Kondisi saat ini adalah apabila Hakim
Niaga ingin menjadi hakim agung maka harus menjalani karir sebagai hakim tinggi
terlebih dahulu. Hal itu berarti meninggalkan karir sebagai hakim Niaga,
sehingga profesionalisme yang telah dirintis dan ditekuni harus ditinggalkan
selama menjadi hakim tinggi. Bila hal ini terjadi, maka Pengadilan Niaga akan
didukung oleh sumber daya manusia yang kurang berkualitas dan kurang
professional. Diani Sediawati (2002:7) mensinyalir sebagai penyebab lemahnya
kinerja Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara-perkara niaga.
c.
Kedudukan
Peradilan Niaga
Pengadilan Niaga berada di bawah
lingkup peradilan umum, namun keberadaannya dirasakan kurang tegas oleh
beberapa hakim. Hal itu antara lain disebabkan oleh penempatannya seakan
terpisah dari Pengadilan Negeri, seperti di Makassar dan Surabaya karena mempunyai gedung sendiri.
Manajemen Pengadilan Niaga yang saat ini menyatu dengan Pengadilan Negeri
dianggap hanya bersifat sementara waktu; Di kalangan hakim adanya
perbedaan yang didukung oleh sistem rekruitmen hakim niaga yang kurang
memperhatikan senioritas, sehingga hakim niaga yang relatif masih muda dengan
jenjang kepangkatannya belum masanya untuk berada di pengadilan kelas IA.
- Hukum Acara Pengadilan Niaga
Pasal 284 ayat (1) Undang-Undang No. 4
tahun 1998 menyatakan bahwa hukum acara yang dipakai di Pengadilan Niaga adalah
Hukum Acara Perdata yang diatur di dalam HIR/RBG. Pengaturan tentang kekhususan
hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum ada. Di samping itu
ditemukan pengaturan hukum acara Pengadilan Niaga secara terpisah-pisah sesuai
dengan obyek sengketanya dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 ada hukum acara tentang Kepailitan dan
Undang-Undang tentang Hak atas kekayaan Intelaktual (Undang-Undang No. 14 tahun
2000 tentang Paten dan 15 tahun 2001 tentang Merek).
Dalam hukum acara Pengadilan Niaga
terdapat tradisi baru yaitu apabila ada anggota majelis hakim yang tidak setuju
dengan putusan majelis hakim, maka anggota yang tidak setuju tersebut dapat
mengeluarkan “descenting opinion ” terhadap putusan tersebut.
Berkaitan dengan hukum acara
Pengadilan Niaga, Parwoto Wignjosumarto (2002:6) berpendapat bahwa mengacu ke
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 1998 (UUK), maka pemeriksaan perkara
di Pengadilan Niaga tidak akan menggunakan proses jawaban; replik, duplik dan
kesimpulan. Bila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 284 ayat (1)
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 dan kemungkinan perluasan kewenangan Pengadilan
Niaga ke lingkup kegiatan niaga lainnya (selain permasalahan pailit, Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dan HAKI), maka dibutuhkan hukum acara tersendiri.
- Pembuktian di Pengadilan Niaga
Azas yang dianut dalam menyesaikan
perkara di Pengadilan Niaga adalah azas adil, cepat, terbuka dan efektif. Pasal
6 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 1998 menegaskan bahwa sifat pembuktian
yang dianut oleh Pengadilan Niaga adalah sederhana. Permasalahan yang dihadapi
adalah interpretasi hakim terhadap sifat sederhana tersebut, sehingga
berpengaruh terhadap kepastian hukum dan sering timbulnya putusan yang
“kontradiktif”.
Dengan kemungkinan perluasan
kompetensi Pengadilan Niaga, maka apabila yang akan dibuktikan hanya berkaitan
dengan utang dan semuanya berakhir dengan kepailitan, maka Pengadilan Niaga
mempunyai tugas yang sederhana dan penamaannya yang paling tepat adalah
“Pengadilan Kepailitan”. Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara
kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan terhadap perkara niaga lainnya,
seperti pada perkara berkaitan dengan HAKI, dan obyek sengketa di Pengadilan
Niaga lainnya. Pada perkara kepailitan yang akan dibuktikan adalah ada atau
tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau
menolak permohonan pailit. Pada perkara niaga seperti pada kasus-kaus yang
diajukan ke Pengadilan Niaga dan kemungkingan perluasan kompetensi Pengadilan
Niaga yang direncanakan oleh BAPPENAS, kebenaran yang akan dibuktikan adalah
tentang suatu hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya suatu permasalahan
hukum.
- Azas Nebis In Idem dalam Perkara Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan
khusus dalam lingkup pengadilan umum yang berwenang menyelesaikan sengketa
niaga. Dari kasus-kasus yang dimintakan penyelesaiannya ke Pengadilan Niaga
ditemukan adanya kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri, sehingga
menunjukkan tidak adanya perhatian terhadap azas nebis in idem, seperti
pada Putusan No. 42/Paillit/2001/P.N Niaga Jkt.Pst. terhadap kasus ini telah
ada juga Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 219/Pdt.G/1999/P.N. Juga
ditemui adanya permasalahan yang sama diajukan ke Pengadilan Niaga yang sama.
Perbedaannya adalah yang satu adalah permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, yang lainnya adalah pailit, seperti pada Putusan No. 04/Paillit/1998/P.N
Niaga Jkt.Pst Jo. Putusan No. 03/PKPU/1998/P.N Niaga Jkt.Pst yang diajukan oleh
debitur, dan dalam jangka waktu yang hampir bersamaan (pada bulan yang sama
yaitu bulan September tahun 1998) kreditur mengajukan permohonan pailit
terhadap debiturnya dalam Putusan No. 05/Paillit/1998/P.N Niaga Jkt.Pst.
Keberadaan azas ini belum dipermasalahkan, yang baru mulai dibicarakan adalah
berkaitan dengan titik singgung kewenangan. Hal itu dikemukakan antara lain
oleh Diani Sediawati dan Parwoto Wignjosumarto.
- Administrasi Pengadilan Niaga
Prinsip dasar Pengadilan Niaga yang diharapkan dapat
menjadi ciri khusus dari pengadilan ini, yaitu:
a.
Kesinambungan,
maksudnya Ketua Mahkamah Agung harus menjamin
terselenggaranya persidangan secara berkesinambungan.
b.
Persidangan
yang baik, maksudnya tersedianya prosedur Peradilan Niaga yang cepat, efektif,
dan terekam baik.
c.
Putusan
yang baik, yaitu harus tersedianya putusan yang tertulis yang memuat pertimbangan-pertimbangan
yang cukup mendasari putusan yang bersangkutan.
d.
Kearsipan
yang baik, maksudnya setiap putusan haruslah diberi arsip dengan baik dan
diterbitkan secara berkala.
Dari prinsip dasar yang dianut oleh
Pengadilan Niaga terlihat adanya pembaharuan hukum dan kebiasaan di kalangan
peradilan, yaitu adanya prinsip terbuka dengan dipublikasikan atau diterbitkan.
Hal itu memungkinkan semua orang untuk mengkajinya dan dapat memperoleh putusan
yang ada. Pembentukan Pengadilan Niaga diiringi dengan harapan agar dapat dijadikan
contoh Pengadilan baru Indonesia.
Dari segi administrasi terutama tentang arsip, Pengadilan Niaga dijadikan
pelopor bagi keterbukaan suatu pengadilan. Hal itu dilakukan dengan membuka
kemungkinan bagi berbagai pihak untuk dapat mempelajari isi putusan yang telah
dijatuhkan terhadap suatu perkara. Semua pihak yang merasa membutuhkan dapat
memperoleh putusan Pengadilan Niaga dari buku himpunan Putusan Pengadilan Niaga
yang telah diterbitkan. Sistem pengelolaan arsip dan publikasi hasil penelitian
tersebut didukung oleh biaya berperkara yang cukup tinggi, yaitu hampir 10
(sepuluh) kali lipat biaya perkara di Pengadilan Negeri.