Dalam
perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan singapura pada tanggal 27 April
2007 katanya dibuat untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan bilateral yang
ada antara indonesia dan singapura melalui kegiatan kerjasama dibidang
pertahanan. Kerjasama tersebut disebut Defence Corporation
Agreement (DCA). Defence Cooperation Agreement (DCA) telah
ditandatangani di Istana Presiden Tampaksiring, Bali pada bulan April 2007 yang
lalu. Butuh perjuangan yang lama untuk membawa perjanjian yang termasuk dalam
paket perjanjian extradisi ini. Singapura selalu menunjukan sikap tidak baik
dengan menolak membahas isu ini ke tingkat yang lebih tinggi.
Memang,
Singapura sangat diuntungkan dengan banyaknya koruptor Indoensia yang begitu
amannya bersembunyi di negara kota itu. Singapura jelas juga berkepentingan
menjaga modal tetap aman dan tersimpan baik di bank-bank Singapura. Maka, kalau
Singapura mau menandatangani perjanjian extradisi pasti mereka punya agenda
atau mememinta imbalan yang begitu tinggi. Dan jangan heran kalau imbalannya
menyerempet kedaulatan negara.
Dalam
Perjanjian tersebut terdapat dua pertanyaan mendasar tentang defence
cooperation agreement atau DCA yang hingga kini belum dijelaskan pemerintah.
Pertama,
mengapa bisa mengizinkan negara lain menggunakan wilayah kita untuk latihan
militer? Apakah ini tanda ketidakmampuan Indonesia menjaga wilayah karena
lemahnya kekuatan pertahanan laut dan udara? Jika ya, kekuatan pertahanan
Indonesia tidak mampu memenuhi tujuan utama pertahanan Indonesia, yaitu
mempertahankan kedaulatan, wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia
sebagaimana diamanatkan UU Pertahanan Negara No 3/2002 dan UU tentang TNI No
34/2004.
Singapura
telah melaksanakan latihan militer di wilayah Indonesia, yang diklaim sebagai
daerah tradisional latihan militer sejak tahun 1970-an. Perlu ditegaskan,
menyediakan wilayah untuk latihan militer negara lain dapat membuka kelemahan
pertahanan Indonesia. Selain itu, persiapan latihan pada hakikatnya sama dengan
persiapan untuk melakukan operasi militer.
Pertanyaan kedua, mengapa
menghubungkan antara perjanjian ekstradisi dan perjanjian pertahanan? Ini sulit
diterima para penentang DCA. Pertahanan adalah salah satu core business dari
upaya mempertahankan eksistensi negara. Sementara itu, masalah larinya koruptor
dan modal ke Singapura, betapa pun Singapura telah melakukan kesalahan,
sebagian besar disebabkan lemahnya sistem perbankan, sistem hukum, dan imigrasi
Indonesia. Maka, wajar masyarakat bertanya apakah pantas kesalahan yang kita
buat sendiri harus ditebus dengan pengorbanan dalam bidang pertahanan untuk
kepentingan negara lain.
Penjelasan
yang harus dikemukakan pemerintah seharusnya tidak mengaitkan DCA dengan
ekstradisi, tetapi melihat dari aspek pertahanan itu sendiri. Seperti
dikemukakan sebelumnya, Singapura telah melakukan latihan di wilayah Indonesia,
terutama dalam kasus wilayah Bravo yang lama (kini dinamakan Alpha 2) dengan
menggunakan klaim wilayah tradisional latihan militer mereka. Hak ini tidak
dikenal dalam hukum internasional. Oleh karena itu, Singapura tidak berhak
mengklaim adanya wilayah tradisional latihan militer. Dengan adanya DCA, hak
wilayah tradisional latihan militer itu hilang digantikan mekanisme izin dan
aturan-aturan operasional lain yang disebut Implementation Arrangement (IA)
yang hingga kini belum tuntas dalam perundingan antara kedua negara.
Diplomasi
Ketika kekuatan pertahanan
Indonesia secara fisik tidak mampu menolak klaim itu, diplomasi menjadi
satu-satunya opsi yang realistis. Di sinilah DCA merupakan hasil diplomasi
Indonesia untuk menghapus klaim wilayah tradisional latihan militer sekaligus
sebagai kompensasi bagi Singapura dari hilangnya klaim itu. Jika tidak ada
kompensasi (take and give), toh akhirnya Indonesia tidak mampu menghentikan
klaim itu. Jadi, lebih baik Singapura diikat dalam perjanjian daripada
dibiarkan melakukan latihan militer dalam wilayah yang diklaim sebagai wilayah
tradisional latihan militernya. Inilah hasil maksimal yang dicapai Indonesia
karena selama ini mengabaikan pembangunan kekuatan laut, udara, dan darat
secara seimbang sesuai dengan karakter geografis sebagai negara kepulauan yang
terbuka.
Jika
nanti DPR menolak ratifikasi DCA, hal ini harus dilihat secara wajar sebagai
bagian proses politik yang harus dilalui oleh suatu perjanjian dengan negara
lain. Singapura juga harus menghormati proses politik ini. Perjanjian SALT II
pada akhir 1970-an antara Uni Soviet dan Amerika Serikat batal karena tidak
diratifikasi Kongres AS. European Defence Community pada tahun 1954 juga batal
karena ditolak parlemen Perancis dan Inggris.
Itulah
kewenangan DPR tanpa harus menuntut untuk dilibatkan dalam proses negosiasi
atau mengetahui semua hal perundingan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan
prinsip politik trias politika yang membagi ranah kewenangan politik antara
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Seharusnya
pemerintah menuntaskan perundingan tentang IA kemudian bersama-sama dengan DCA
diberikan kepada DPR untuk dijadikan dasar pertimbangan ratifikasi. Dengan
demikian, akan muncul pemahaman lebih kuat tentang makna pasal-pasal DCA dengan
rujukan operasional dalam IA yang mencakup semua wilayah. Jika DCA batal, dapat
dipastikan perjanjian ekstradisi akan batal. Konsekuensinya, Singapura bisa
tetap mempertahankan klaim wilayah tradisional latihan militer.
ADS HERE !!!