TEORI HUKUM TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM
DALAM PENDEKATAN HUKUM MODERN DI DUNIA GLOBALISASI
A.
PENDAHULUAN
Globalisasi seakan-akan menjadi musuh besar negara-negara miskin atau
berkembang saat ini, tak mampu melawan bahkan menghadang pun tak bisa.
Globalisasi membawa dampak besar, baik positif maupun negatif, namun bagi
negara-negara berkembang lebih banyak dampak negatifnya, artinya banyak
ruginya. Bagi negara maju globalisasi adalah jalan untuk masuk dan
mengekploitasi pasar-pasar di negara berkembang.
Menurut pandangan Menski, yang dipertegas oleh pakar lain, Robertson (1995)
bahwa titik-akhir dari globalisasi merupakan fenomena keanekaragaman yang
hampir tak terbatas, yaitu benar-benar sebagai "glocalization", dan
bukan sebaliknya penyeragaman yang sangat tidak realistis. Jadi globalisasi
berjalan bareng dengan glocalisasi (pluralitas). Perlu didesakkan kepada visi
unifikasi anti-pendukung pluralisme bahwa pandangan mereka itu sesat dan
benar-benar membahayakan, baik terhadap perdamaian dunia maupun terhadap
kesejahteraan global. Di dunia masa kini, hal yang sangat terbukti adalah bahwa
munculnya perlawanan sengit dari kalangan yang menolak visi "globalised
uniformisation" (unifikasi globalisasi) yang bermaksud menyeragamkan visi
global, inisiatif mana muncul dari Amerika Serikat dan bernafsu untuk
menjadikan dunia berada di bawah komandonya.
Permasalahan timbul jika dilihat dari perspektif hukum adalah terjadinya
globalisasi hukum, yaitu dengan tidak menjadi semakin tegasnya pengaruh dari
batas-batas teritorial dan kedaulatan negara maka hukum yang berlakupun menjadi
semakin plural. Hal ini disebabkan karena seorang individu bukanlah menjadi
anggota dari masyarakat lokal saja, namun juga masyarakat suatu negara, dan
bagian dari masyarakat internasional. Dalam praksisnya dapat terjadi
pertentangan antara norma-norma yang berasal dari ketiga jenis masyarakat yang
berbeda tersebut ataupun dengan norma lainnya seperti norma agama. Dalam hal
ini interpretasi yang dilakukan negara terhadap ketentuan-ketentuan
internasional dalam rangka menjadikannya instrumen hukum positif di dalam
negeri harus mempertimbangkan kebutuhannya.
Di era moderenitas saat ini dikenal sebuah teori hukum yang menjawab dunia
globalisasi yaitu triangular concept of legal pluralism (Konsep segitiga
pluralism hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian
dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari
University of London, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-bangsa Asia dan
Afrika, yang menonjolkan karakter plural kultur dan hukum. Dari subyek
kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya tersebut, yang sangat
relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Munculnya teori triangular
concept of legal pluralism kemudian banyak teori-teori hukum sebelumnya
tergeser, seperti teori the disorder of law-nya Charles Sampford yang ekstrem
untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori
klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain
teori-teori positivistik dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya,
triangular concept of legal pluralism dari Menski ini memperkuat konsep
Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ke tiga, yaitu legal culture
(kultur hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friendman
memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang
sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum
yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu
realitas. Di era globalisasi saat ini, dimana hubungan antar warga dunia, tidak
lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara,
tetapi di hampir semua bidang, komunikasi yang semakin canggih, menyebabkan
dunia tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara dunia”, dan setiap warga dunia
dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan
hukum asing, yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontras
dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan
perjalanan ke nagara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya”
(internet) akan merasakan kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam
kehidupanya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam forum WTO
seperti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HKI) yang disesuaikan untuk mengikuti standar dalam Trade-Related
Intellectual Properties Rights (TRIPS). Contoh lainnya misalnya UU Penanaman
Modal yang dibuat dengan menyesuaikan standar-standar yang terdapat dalam
Trade-Related Investment Measures (TRIMS).
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada,
baik antar bangsa maupun di dalam satu negara tertentu, contohnya di Amerika
Serikat, setiap ‘state’ (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem
peradilan, dan hukum positif masing-masing, demikian juga di Indonesia setiap
daerah memiliki hukum adat masing-masing, melainkan juga pluralisme hukum
adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang
ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentunya menjadi sangat
tidak realistis, ketika berbagi sistem hukum, sistem peradilan dan hukum
positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan
mengunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau
pendekatan moral belaka. Metode yang sangat relevan di era globalisasi saat ini
adalah menggunakan pendekatan hukum : normatif, empiris dan filsufis secara
proposional dan serentak, metode tersebut di kenal sebagai triangular concept
of legal pluralism.
B. INTI TEORI TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM
Profesor Wener Menski, guru besar hukum dari university of London, Inggris, di
dalam bukunya ”Comparative Law in a Global Content” (2006) merumuskan Teori
Hukum yang relevan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang timbul di era
globalisasi. Menski menolak konsep “anti-pluralist” atau konsep “unification
visions” atau “visions of globalised uniformisation, made by America led
initiatives”, yang pada dasarnya berupaya menyeragamkan visi internasional
dunia global di bawah satu visi ala Amerika, mengenai isu-isu krusial
menyangkut hukum, keadilan dan Hak Asasi Manusia .
Menghadapi era globalisasi dunia, pakar hukum modern telah meniggalkan tiga
pendekatan hukum klasik yang cenderung ekstrem sempit hanya menggunakan salah
satu jenis pendekatan, apakah yang normatif (positivistik), empiris
(sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya) atau pendekatan nilai dan
moral (filsufis), teori triangular concept of legal pluralism (konsep segitiga
menghadapi pluralism hukum di era globalisasi dunia) menggunakan ketiga
pendekatan tersebut.
Hukum sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia, dalam arti
bahwa di mana-mana hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan
aturan-aturan yang dibuat oleh negara, meskipun tentu saja di dalam realitasnya,
muncul banyak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya
mengonfirmasikan tentang premis dasar yang telah di ketahui, bahwa semua hukum
adalah kultur spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti
kontrak. Perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang
tampak secara terus menerus berubah dari waktu-ke waktu. Dengan menggunakan
pendekatan tiga tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat,
hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta
etika. Bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Untuk mudah memahami di
gambarkan oleh Menski, yaitu nomor 1 pada segitiga unsur ‘masyarakat’ (number 1
to the triangle of society), nomor 2 pada unsur ‘negara’ (number 2 to the
triangle of state), dan nomor 3 pada dunia nilai serta etika (number 3 to the
realm of values and ethics). Dari hal tersebut menjadi alasan, mengapa satu
tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk menjelaskan
sifat alami hukum yang hakikatnya bersifat plural.
Jadi menurut Menski untuk memperkenalkan representasi grafis dari level of
intrisic the second pluralisme hukum, dimulai dengan hukum yang di temukan di
dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat
dimana hukum selalu berlokasi. Bahwa tak ada masyarakat tanpa hukum, pada poros
pusat dalam the triangle of society, norma-norma sosial dan proses-proses yang
menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan
nilai-nilai. Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat
dalam the triangle of society. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan
kehidupan klutur, tetapi kultur yang barangkali juga secara intrisik bersifat
plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai.
Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh
manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas
(pluralitas-conscious analytical methods).
Selanjutnya the triangle of the state, jenis hukum yang secara langsung
bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak
terlihat, atau mungkin juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam
jumlah yang besar-besaran. Namun apa pun bentuknya dan apa pun yang membentuknya,
dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara. Ini merefleksikan fakta
bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana dapat mengambil
bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input dalam negosiasi, yang
tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum produk negara ini. Menurut Chiba
dikanal sebagai the second type of official law atau tipe kedua dari hukum
resmi negara, yaitu hukum negara yang tidak bener-benar dibuat oleh negara,
melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara. Penalaran yang sama dapat
diterapkan, pada sis lain dari “the statist trangle, kepada tipe-tipe hukum
produk negara (state-made law) yang mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan
etika spesifik.
Selanjutnya ke pembahasan mengenai segitiga hukum alam (the triangle of natural
law) dan pengembangan keadaan yang plural, bagi tipe hukum yang bersumber dari
segitiga jenis hukum alam ini, yang sumbernya telah berutang pada input-input
yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Menurut istilah
Chiba sebagai ‘postulat hukum’ yang secara sebagian terbesar telah “berutang’,
baik mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk menreka, akibat
kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some
rule-negotiating power’ yang menggerakan awal dari segitiga ini.
Di contohkan oleh Achmad Ali dengan cerita, ketika orang melihat sebuah
"trafficlight" di persimpangan jalan, maka pernyataan yang muncul
bisa bermacam-macam respons, tergantung dari paradigma atau mazhab hukum apa
yang mendominasi pikiran dan persepsinya. Seseorang yang berparadigma
legalistik-positivis, akan menyatakan: "Trafficlight" itu agar setiap
pengguna lalulintas di jalan, harus berhenti jika lampu yang menyala adalah
berwarna merah!" Berbeda dengan seseorang yang berparadigma psikologi-hukum
(dan paradigma empiris hukum lainnya seperti sosiologi hukum), akan
mempertanyakan: "Benarkah ketika lampu merah nanti menyala, semua pengguna
jalan akan berhenti?" Kalau orang menaati untuk berhenti ketika lampu
merah, faktor psikologis apa yang menyebabkan dia taat? Dan kalau seseorang
melanggar lampu merah, faktor psikologis apa yang menyebabkan ketidaktaatannya?
Demikianlah opini dan sikap serta perilaku seseorang terhadap suatu fenomena
hukum, sangat ditentukan oleh faktor "mazhab hukum" yang
mendominasinya.
Contoh lain, orang-orang yang menganut pandangan legalistik-positivis,
cenderung akan mempertanyakan: "Bagaimana agar hukum ditaati?"
Sebaliknya, seseorang yang menganut paham mazhab empiris, apakah sosiologis,
antropologis, psikologis, dan lainnya, mungkin pertanyaannya menjadi:
"Mengapa hukum harus ditaati?".
Bagi Menski, tentu saja sangat tidak realistis, ketika berbagai sistem hukum,
sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu,
hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit
saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka, atau
hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka. Tak
ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era
globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara proporsional
secara serentak ketiga pendekatan hukum; normatif, empiris (psikologi hukum,
sosiologi hukum, dan lainnya) dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai
Triangular Concept of Legal Pluralism. Dari paradigma legalistik-positivis
saja, tentunya hal satu-satunya yang penting adalah bentuk dari proses lahirnya
suatu perundang-undangan, atau dengan kata lain yang paling penting hanyalah
"legalitas"nya, bukan soal "legitim atau tidak legitim"nya.
Berbeda hanya jika kita menggunakan paradigma mazhab empiris. Yang lebih
penting dari suatu perundang-undangan ataupun aturan hukum lain, adalah
"apa dan bagaimana dampak yang ditimbulkan suatu ketentuan hukum".
Timbulnya perbedaan itu, karena memang terdapat asumsi dasar yang berbeda
secara mencolok; bagi kaum legalistik-positivistik, slogan mereka adalah
manusia untuk hukum, atau paling tidaknya, hukum untuk hukum. Berbeda halnya
dengan asumsi dasar kaum empiris-hukum, yang slogannya adalah hukum harus untuk
manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Pertemuan antara "ilmu hukum"
dan "psikologi hukum", adalah karena keduanya menjadikan perilaku
manusia sebagai objek kajiannya. Secara "legal-empiris", dampak
mengacu ke perilaku dan perilaku sering dapat diukur secara kuantitatif.
Suatu fenomena hukum yang sama atau mirip, dapat menimbulkan reaksi yang tidak
sama dari masyarakat yang berbeda, atau dari individu yang berbeda. Oleh karena
itulah, kita dapat menekankan fungsi terpenting dari hukum, adalah sebagai
"guiding behavior" atau penuntun perilaku. Dan sebagai konsekuensi
dari fungsi tersebut, maka salah satu tujuan utama setiap kajian ilmiah hukum
(bukan sekadar kajian praktis seperti yang menjadi tujuan kajian legalistik-normatif)
adalah: "menemukan dampak hukum terhadap perilaku manusia ("legal
behavior").
Seterusnya, karena perilaku manusia dipengaruhi bahkan dibentuk oleh berbagai
faktor "extra-legal" (faktor nonhukum); faktor sosial, kultur,
psikologi, politik, ekonomi, religi, dan lainnya, maka merupakan hal yang tak
terhindarkan untuk melibatkan ilmu-ilmu sosial seperti psikolog dalam kajian
ilmu hukum, dan inilah yang oleh Richard L Schwartz, dinamakannya sebagai
"external method", yang diperlawankan dengan "internal
method" (metode tradisional doktrinal yang legalistik-normatif). Bagi
Schwartz, Teori Hukum dan Ilmu Hukum dewasa ini, mempunyai karakteristik oleh
pembedaan antara "metode tradisional doktrinal" (yang mendominasi
kaum positivis) di satu pihak, dengan "pendekatan-pendekatan yang diambil
dari disiplin ilmu nonhukum atau extra-legal disciplines (seperti psikologi,
sosiologi, sejarah, ekonomi, dan lainnya).
Salah satu subjek psikologi hukum, adalah persepsi warga masyarakat terhadap
hukum. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik hukum, sangat
berbeda dengan persepsi bangsa-bangsa Barat (dan yang juga latah ke
Barat-Baratan seperti sebagian anak bangsa Indonesia yang dilanda "virus
legalistik- litigasi"). Persepsi penyelesaian konflik Barat adalah win or
lose (menang atau kalah). Dan pihak yang menang, benar-benar harus menang
telak, sebaliknya pihak yang kalah, juga harus dikalahkan secara telak. Contoh:
Undang-undang Kepailitan yang sepenuhnya mengadopsi paradigma Barat, dan yang
bisa berakibat, seseorang yang dinyatakan pailit, harus meninggalkan seluruh
hartanya. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik, adalah win-win
solution (tidak boleh ada yang terlalu kalah, dan tidak boleh ada yang terlalu
menang). Di dalam pembagian modern tentang "Sistem Hukum" yang ada di
dunia, Sistem Hukum Jepang dan China dikelompokkan sebagai "Far East Legal
System" alias Sistem Hukum Timur Jauh, yang sebenarnya, andai Indonesia
tidak dirasuki oleh virus legalistik-litigatif mantan penjajahnya, Belanda,
juga akan termasuk dalam sistem hukum itu, dan bukannya sebaliknya memaksa
mendaulat diri tergolong dalam "Sistem Hukum Eropa Kontinental".
C. KEADILAN HUKUM DI ARUS GLOBALISASI
Globalisasi menimbulkan ketidakadilan hukum bagi negara berkembang, negara maju
mendesak peraturan yang menguntungkannya berlaku di negara berkembang. Yang
pada akhirnya negara berkembang tidak mampu lagi halangi gelombang globalisasi
tersebut. Hanya hukum nasional atau lokal yang akan melindungi masyarakatnya
dari ketidakadilan global. Negara sudah tidak mampu lagi melindungi
masyarakatnya. Bagaimana hukum akan bekerja di saat gelombang globalisasi
begitu kuat. Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan
negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian para rakyatnya. Dalam
mengabdi kepada tujuan negara itu dengan menyelenggarakan keadilan dan
ketertiban. Tujuan hukum menurut hukum positif kita tercantum dalam alinea
empat Pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi sebagai berikut :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Konsep keadilan tidak hanya konsep teori yang utama dalam filosofi hukum,
tetapi sama pentingya juga dengan pengertian hukum itu sendiri, keadilan juga
merupakaan wacana ilmilah yang umumnya mengenai kehidupan publik yang dipahami
setiap orang secara intuitif. Satu dari konsep tersebut, seperti “keberadaan
atau kebenaran” akan segera dipahami orang, khususnya dalam kontek negosiasi,
pada awalnya keadilan cenderung akan menimbulkan ketakutan. Kita dapat
memberikan contoh dari ketidakadilan, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan
langsung yang abstrak mengenai apakah sebenarnya keadilan, maka akan sulit
untuk mengetahui dari mana memulainya. Yang jelas adalah bahwa keadilan,
sebagai konsep moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang
melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang
disebabkan oleh badai, gempa dan serangan gajah tidak dapat dikatakan sebagai
suatu ketidakadilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidakadilan
adalah kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan
adalah suatu masalah dimana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi juga
suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Aktivitas tersebut bisa merupakan
keberadaan dari sesuatu yang alami seperti aparatur hukum dan kerajaan, atau
sesuatu yang supernatural misalnya kemarahan atau kebaikan Tuhan, adanya tujuan
yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam membicarakan keadilan.
D. TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM DI HUKUM INDONESIA
Globalisasi sebagai sebuah fakta yang sangat tampak secara luas, bukanya dengan
seirus ditantang sebagai sebuah peristiwa. Bagaimana menghubungkan globalisasi
dengan teori hukum dan pemahaman hukum. Saat ini tidak hanya ada dua sistem
hukum di dunia ini, yaitu common law system (Aglo-American Legal System) dan
Civil Law (Continental Europa Legal System), tapi lebih bervariatif. Salah satu
perbedaannya berikut :
a. Civil Law, berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahanya.
b. Common Law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa
Inggris (Commonwealth)
c. Customary Law, di beberapa negara Afrika, Cina dan India.
d. Muslim Law, di negara-negara muslim, terutama di Timur Tengah.
e. Mixed system, Di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem hukum
perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.
Dalam konteks demikian negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan
keuntungan yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang
telah diimplementasikan Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan bisnis.
Di antaranya adalah peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas,
pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha milik negara
secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama
operasi dan go public. Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan
perundang-undangan di berbagai sektor. Terakhir sejumlah undangundang diubah
dan dibentuk untuk menguatkan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk
hak atas kekayaan intelektual.Pemaksaan dilakukan dengan cara mendorong
Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di samping memanfaatkan
ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian internasional
seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional yang penting
untuk mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti ini sulit
untuk disebut sebagai pelanggaran atas hukum internasional ataupun campur
tangan dalam urusan domestik Indonesia.