Secara garis besar terdapat dua sumber (potensi) yang dapat mengakibatkan tersangka, terdakwa, atau saksi menjadi tidak bebas atau berkurang kebebasannya dalam memberikan keterangan. Pertama, yang bersumber dari dalam diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai dari persoalan hambatan kesehatan jasmani misal sakit atau berhubungan dengan hambatan kesehatan rohani, sakit jiwa (gila), ketakutan, kekhawatiran, usia sampai dengan persoalan pengetahuan yang dimiliki.
Kedua, yang berasal dari luar diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai pengaruh media massa, paksaan, tekanan yang berasal dari aparat (bukan aparat penegak hukum), pembatasan untuk mendapat bukti (alat bukti dan barang bukti) dan mengetahui atau memahami kenapa ia diajukan ke persidangan sampai dengan pelaksanaan penyumpahan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (hukum pidana formal) tidak akan ada satu pun pasal yang mengatur penyumpahan terhadap tersangka atau terdakwa sebelum menyampaikan keterangannya. Di sini penyumpahan terhadap tersangka atau terdakwa sifatnya adalah terlarang, karena dinilai akan mengurangi atau menghilangkan hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa untuk memenangkan perkaranya dengan segala macam cara.
Hukum memberikan kesempatan pada dirinya untuk berbohong, setengah berbohong ataupun berkata jujur atau tidak berbicara sepatah kata pun itu adalah haknya dan siapa pun tidak dapat mengganggu gugat. Karena prinsip yang dijamin oleh hukum adalah tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Karena adalah sangat perlu untuk dipahami oleh setiap aparat penegak hukum yang bertindak sebagai pemeriksa terhadap tersangka atau terdakwa, tidak ada gunanya dari sisi hukum untuk memaksa tersangka atau terdakwa memberikan pengakuan. Karena walaupun seorang tersangka atau terdakwa 'menyumpahi dirinya sendiri' artinya tanpa diminta dia melakukan sumpah sendiri, dengan maksud menguatkan apa yang dia terangkan. Pengakuan itu hanya akan menjadi faktor yang meringankan hukuman.
Kalau terhadap tersangka dan terdakwa sumpah, ditempatkan sebagai tindakan yang terlarang dan bahkan harus dikatakan tidak mempunyai nilai dalam pembuktian. Maka berbeda posisi sumpah bagi saksi. Pada seorang saksi diharuskan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang dia lihat, dengar dan atau alami sendiri tentang suatu peristiwa hukum yang kemudian menempatkan dirinya menjadi saksi. Ia lihat, dengar dan alami sendiri tentunya harus didukung dengan apa yang menjadi alasan atau bukti dari apa yang diterangkan yang berasal dari apa yang ia lihat, dengar, dan alami.
Untuk hal tersebut karena manusia pada umumnya telah mempunyai 'modal dasar' bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri (subjektif), maka harus ada sarana 'pemaksaan' untuk menjamin bahwa dia tidak akan bertindak demi keuntungannya sendiri.
Bahkan hukum pun memberikan sanksi apabila saksi telah memberikan keterangan di bawah sumpah, dan ternyata keterangannya adalah terbukti palsu! Persoalan penting pertama untuk diperhatikan terlebih dulu dalam persoalan ini adalah kapan seorang saksi akan memberikan keterangan di atas sumpah (Pasal 242 KUHP).
Disamping itu, pemeriksaan terhadap saksi untuk meminta keterangan di atas sumpah, adanya hanya di dalam acara pemeriksaan di sidang pengadilan!
Sedangkan meminta keterangan saksi di tahap penyidikan hukumnya adalah tidak di bawah sumpah, kecuali berarti dapat diberikan keterangan di bawah sumpah, jika didapatkan alasan secara limitatif, pertama, penyidik memiliki kekhawatiran yang didukung dengan bukti yang kuat, bahwa setelah saksi memberikan keterangan dia akan meninggal dunia. Kedua, karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang. Alasan ketiga, tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman, terakhir, karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara.
Selain alasan tersebut, dalam Pasal 162 (1) KUHAP sekali lagi dikatakan terlarang hukumnya untuk meminta keterangan saksi dengan cara disumpah. Apabila aparat penyidik melakukan pemeriksaan untuk meminta keterangan terhadap saksi dengan cara disumpah terlebih dahulu, maka tidak menutup kemungkinan tindakan seperti itu dapat digolongkan sebagai pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi dengan cara yang melawan hukum.
Akibatnya, penyumpahan yang dilakukan terhadap saksi tersebut dapat dinilai sebagai tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan hak, untuk secara bebas memberikan keterangan.
Persoalan penting kedua yang harus diperhatikan terkait dengan penerapan Pasal 242 ayat (2) KUHP untuk perkara pidana adalah terkait dengan adanya unsur 'diberikan dalam perkara pidana dan merugikan tersangka atau terdakwa'.
Bicara hukum pidana tidak bisa dilepaskan dari unsur. Sebabnya adalah, satu unsur saja tidak terpenuhi atau tidak terbukti menjadikan seluruhnya tidak terbukti.
Pengertian yang dikandung dari unsur dan merugikan tersangka atau terdakwa, adalah keterangan di atas sumpah tersebut baru dapat dikatakan sebagai keterangan palsu di atas sumpah, apabila atau syaratnya adalah dengan pemberian keterangan tersebut berakibat menimbulkan kerugian terhadap tersangka atau terdakwa.
Dengan kata lain kerugian tersebut hanya ada pada pihak tersangka atau terdakwa, tidak pada pihak lain! (korban, aparat penegak hukum termasuk di dalamnya adalah penyidik, masyarakat atau proses penegakan hukum itu sendiri). Karena dengan memberi keterangan palsu, maka tersangka atau terdakwa akan dirugikan, karena dia dalam posisi terancam akan menjalankan hukuman atas tindak pidana yang tidak ia lakukan karena didasarkan atas keterangan di atas sumpah yang palsu.
Sehingga kalau kemudian terdapat kasus, saksi diperiksa oleh penyidik untuk dimintai keterangannya di bawah sumpah dan ternyata tidak dilakukan sesuai dengan syarat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 162 Undang-Undang No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka nilai keterangan saksi dalam BAP tersebut adalah batal demi hukum.
Apabila sangkaan melanggar Pasal 242 ayat (2) KUHP dan ternyata tidak memenuhi semua unsur sebagaimana yang ada di dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP, maka sangkaan tersebut adalah tidak tepat dan harus dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau perkara masih berada di tahap penyidikan. SP3 (Surat Perintah Penghentian Penuntutan) apabila perkara ada dalam tahap penuntutan. Harus diputus bebas apabila perkara sudah sampai di tahap peradilan.(Rudy Satriyo Mukantardjo, Pengajar FH UI, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 20 April 2005
|