WHISTLEBLOWER DALAM PERDEBATAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENDAHULUAN.
Masalah
korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun berjalan
seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan.
Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan
tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi paa pelaku
korupsi. Di tengah-tengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, akhir-akhir ini
sering terdengar istilah whistleblower sebagai
salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi.
Istilah
whistleblower dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya
wasit dalam pertandingan sepak bola ataui olahraga lainnya yang meniupkan
peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini,
istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada
public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.
Adapun
pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang
memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya
suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta
(whistleblower) dalam UU Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian
tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan
pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13
Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan /
atau ia alami sendiri.
B.
SEJARAH DAN
KEBERADAAN WHISTLEBLOWER DI BERBAGAI NEGARA.
Menurut
sejarahnya, whistleblower sangat erat
kaitanya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan
tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga
sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.
Kejahatan
terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso
(sebutan terhadap anggota mafia) bergerak dibidang perdagangan heroin dan
berkembang diberbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis
diberbagai Negara seperti Mafia di Rusia, cartel di Colombia, triad di Cina, dan Yakuza
di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga
orang-orang mereka bias menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu
eksekusf, legislatif maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.
Tidak
jarang suatu sindikat bias terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang
berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka melakukan tindakan sendiri
sebagai peniup peluit (whistleblower) untuk
mengungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak
hukum. Sebagai imbalannya whistleblower tersebut
dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Whistleblower berkembang diberbagai
Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah :
1.
Amerikat Serikat, whistleblower
diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower
di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat,
pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.
2.
Afrika Selatan, Whistleblower
diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures
Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower
diberi perlindungan dari accupational
detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.
3.
Canada, Whistleblower
diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower
dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan
pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi
pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada
pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang
memberikan informasi.
4.
Australia,
Whistleblower diatur dalam Pasal 20
dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994.
Whistleblower identitasnya dirahasiakan,
tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari
penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan
kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
5.
Inggris, Whistleblower
diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes
Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak
boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi
serta perlakuan yang merugikan.
C. PERAN WHISTLEBLOWER DI INDONESIA.
Perkembangan
modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita akhir-akhir ini
menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini juga mendorong
upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari cara-cara
konvensional. Adapun, salah satu cara untuk mengungkap terorganisirnya praktik
korupsi tersebut diperlukan peran whistleblower
yang dapat mendorong pengungkapan modus tindak pidana korupsi menjadi
relatif lebih mudah untuk dibongkar.
Menurut Prof. Dr.
Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower
sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tidak
pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi
pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung
oleh fakta konkret, bukan semacam surat
kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang
Whistleblower harus hati-hati
menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan
harus diuji dahulu.
Whistleblower berperan untuk memudahkan
pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower
itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang
dalam, seorang Whistleblower merupakan
orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja.
Seorang Whistleblower ini bias
merupakan orang yang sama tidak terlibat dalam perbuatan korupsi yang terjadi
dalam bagian korupsi yang terjadi.
Dalam
konteks hokum positif kita, kehadiran Whistleblower
perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan
dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang
mudah, dikarekan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya
mendudukan Whistleblower dalam upaya
memberantas prakik korupsi. Sebab secara yuridis normative, berdasar UU No.13
Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower
tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan,
seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
D. PERLINDUNGAN
WHISTLEBLOWER : PENDAPAT PARA PRAKTISI DAN
AKADEMISI.
Whistleblower merupakan langkah
alternatif yang penting dalam ensensial dalam membongkar kejahatan korupsi,
namun keberadaannya terdapat kelemahan mengenai perlindungan status hokum tidak
diberikan apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang
cukup yang dapat memperkuat keterlibatan si pengungkap fakta (pelapor). Dengan
demikian, si pengungkap fakta (pelapor) telah menempuh suatu resiko yang
tinggi, bahkan mempertaruhkan kehidupannya, namun sebuah penghargaan dan
apresiasi kurang diperhatikan, sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi
kritis kepercayaan perihal penjaminan terhadapat diri si pengungkap
fakta/pelapor.
Pengaturan
mengenai perlindungan Whistleblower
(pengungkap fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan
bahwa “Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hokum baik
pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikan “. Aturan yang dimuat dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No.13 tahun 2006 ini
menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama dalam Ayat
(2), yakni : “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak
dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apbila ia ternyata terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
Isi
Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006, terdapat kata-kata”saksi yang juga
tersangka” merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap
saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tiba-tiba berubah
menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Kemudian apabila kita tengok diberbagai Negara tentang Whistleblower dipastikan berada dalam
suatu jaringa mafia, yang jelas mengetahui adanya permukafatan jahat., sehingga
tidak jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat dibongkar,
dikarenakan adanya suatu pembangkangan yang dilakukan oleh si peniup peluit (Whistleblower) untuk membongkar atau
mengungkap apa yang dilakukan oleh kelompok mafia. Sebagai imbalan sang peniup
peluit (Whistleblower) tadi
dibebaskan dari tuntutan pidana.
Menurut
pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat (2) UU No.13
Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat Whistleblower, Kenapa? Karena pasal ini tidak memenuhi prinsip
perlindungan terhadap seorang Whistleblower,
dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana
terlibat dalam kejahatan tersebut. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej memberikan penilaian bahwa pasal 10 Ayat (1) dan
Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan.
Pertama, saksi yang juga tersangka dalam
kasus yang sama akan menghilangkan hak excusatie
terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan. Ketika Whistleblower sebagai saksi dipengadilan
maka keterangannya sah sebagai alat bukti jika diucpkan dibawah sumpah. Apabila
Whistleblower berstatus sebagai
terdakwa yang diberikan tidak dibawah sumpah.
Kedua, disitulah letak adanya ambigu,
siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara bersamaan.
Ketiga, ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU
No.13 Tahun 2006 bersifat kontra legem dengan
Ayat (1) dalam pasal dan Undang-Undang yang sama, pada hakikatnya menyebutkan
bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.
Pasal
10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 membuat pemahaman terhadap saksi yang juga
tersangka semakin tidak jelas, karena disana dijelaskan seorang saksi yang juga
tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum baik pidana maupun
perdata. Hal ini, berarti bisa saja pada waktu bersamaan seorang saksi menjadi
tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 Ayat (2) ini, memungkinkan akan memberikan
keringanan hukuman bagi Whistleblower, namun
kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat seorang yang menjadi Whistleblower akan bernafas lega atau
bahkan sama sekali membuat seseorang tertarik untuk menjadi Whistleblower.
Seorang
yang telah menjadi Whistleblower, apabila
mengacu Pasal 10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, harapan untuk lepas dari
tuntutan hukum sangat sulit, karena pasal ini telah menegaskan bahwa seorang
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
Untuk
bisa lepas dari tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi Whistleblower yang sekaligus juga sebagai pelaku tindak pidana,
karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum, hamper tidak mungkin. Selain
ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, Pasal 191 Ayat (1) KUHAP
menentukan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di
sidangkan pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas. Sementara Whistleblower yang
juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat telah melakukan kesalahan.dan
karenanya sangat mudah untuk membuktikannya secara sah dan meyakinkan di
Pengadilan. Yang memungkinkan baginya dalah lepas dari tuntutan hukum
sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum. Hanya saja
untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga
kuat telah melakukan kesalahan, tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar
penghapusan pidana.
Menurut
M. Jasin, seorang Whistleblower harus
mendapat perlindunga. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 33 United nations Convention Againts
Corruption (UNCAC). Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun
2006. KPK sendiri berdasar Pasal 15 butir (a) UU No. 30 Tahun 2002 berkewajiban
untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor.
Meskipun
saat ini telah da Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjalankan
tugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Namun lingkup LPSK
sayangnya belum menjangkau Whistleblower,
UU No.13 tahun 2006 tidak mencantumkan bahwa Whistleblower adalh pihak yang diberikan perlindungan. Hanya saksi
dan korban yang diatur dalam UU ini. Untuk itu rumusan Pasal 33 UNCAC
seharusnya dimasukkan dalam UU No.13 Tahun 2006.
Saldi
Isra, berpendapat sebagai berikut: semua norma dalam UU LPSK seharunya
dimasukkan untuk memberikan perlindungan terhadap Whistleblowe, namun justru
mengancam kepada Whistleblower. Hal
ini dapat diperhatikan dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006, “Seorang
saksi yang juga terdakwa dalam kasus sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana jika ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan. Tetapi kesaksiannya
bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan”.
Menurut
Ahmad yani. Di Indonesia belum ada pengaturan secara jelas mengenai Whistleblower. Dalam UU No. 13 Tahun
2006. hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan
terhadap pelapor.Lebih lanjut menurut Yani, Whistleblower itu
tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas perkara-perkara yang
dikemukakan kepada penegak hukum. Kasus-kasus besar seperti mafia perpajakan
itu biasanya dibongkar oleh orang dalam sendiri, oleh karena itu perlu ada
pengaturan perlindungan terhadap Whistleblower.
Adapun
criteria seorang untuk mejadi Whistleblower
tidak perlu ada, karena siapa saja yang benar-benar mengetahui adanya suatu
permufakatan jahat, kemudian bila dia sungguh-sungguh memberikan laporan atau
kesaksian kepada penegak hukum, maka orang itu wajib hukumnya untuk dilindungi.
E.
PENUTUP /
KESIMPULAN.
Seorang Whistleblower
seharusnya secara yuridis normatif mendapat perlindungan. Karena hal ini,
telah diatur secara tegas dalam Pasal 33
United Nations Cnvention Againt Corruption (UNCAC). Konvensi ini telah
diratifikasi Indonesia
melalui UU No.7 Tahun 2006. berdasar Pasal 15 buti (a) UU No. 30 tahun 2002,
KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadapt saksi atau pelapor.
Meskipun
saat ini telah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang mejalankan
tugas memberi perlindungan bagi saksi dan korbanm, namun lingkup LPSK sayangnya
belum menjangkau Whistleblower. UU
No. 13 Tahun 2006 tidak menetapkan Whistleblower
sebagai pihak yang diberikan
perlindungan. Hanya saksi dan korban yang diatur dalam UU ini. Untuk itu, perlu
dipertimbangkan rumusan Pasal 33 UNCAC dimasukkan dalam Peraturan
Perundang-undangan melalui revisi UU No.13 Tahun 2006.