A. PENDAHULUAN
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan,
diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah masalah,
bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?. Masalah inilah yang pada
ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi. Setiap jenis pengetahuan memiliki
ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan saling memiliki keterkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya.
(Suriasumantri, 2007:105)
Epistemologi
merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan pandangan hidup
seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik itu sifat
dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Latar belakang
hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa
panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia
dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan
dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir
tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur
pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri
berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan
keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah
pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari
validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan
itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof
Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan
dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih
digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal
dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan
keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance
dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir
yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi
suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650)
dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh
John Locke di Inggris. (Hardono, 1997: 35)
Istilah
epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institute of
Metaphysics pada tahun 1854 M dengan tujuan membedakan antara 2 cabang filsafat
yaitu epistemologi dengan ontologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang
menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan (Buku
Unsur-Unsur Filsafat, Louis Kattsoff).
Secara etimologi,
epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos
lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian
epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Dalam Bahasa Inggris epistemologis disebut sebagai The Theory of Knowledge dan
dalam bahasa Indonesia epistemologi disebut filsafat pengetahuan.
Epistemologi is
one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature, sources and
limits of knowledge. There is a vast array of view about those topics, but one
virtually universal presupposition is that knowledge is true belie, but not
mere true belief (Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and
Francis, 2003)
Epistemologi juga
disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor
mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup
epistemologi.
Jadi epistemologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh
pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara,
teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Begitu luasnya tentang Epistemologi, maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah
(ilmu) serta metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. PENGETAHUAN
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam manusia dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah
mencapai pengetahuan. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, apakah
pengetahuan itu benar-benar benar atau tidak, untuk itu perlu dimengerti apa
itu yang benar dan bagaimana manusia mengetahui kebenaran.
Pengetahuan memiliki tiga fungsi yaitu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan
berdasarkan ramalan tersebut dapat dilakukan upaya untuk megontrol agar ramalan
itu menjadi kenyataan atau tidak. Aristotales membagi kerja dasar intelektual
ke dalam [1] memahami obyek, [2] membentuk dan memilah, [3] menalar dari sesuatu
yang diketahui kepada sesuatu yang tidak diketahui.[1] Anasir itu membentuk
suatu disiplin yang ditempuh oleh Aristoteles yang kemudian disebut “Logika”,
yang oleh Aristoteles bertujuan untuk membuat dan menguji inferensi (kesimpulan
keilmuan) (Noeng Muhadjir, 1999:23)
Menurut
Encyclopedia of Philosophy, pengetahuan didefinisikan sebagai kepercayaan yang
benar (knowledge is justified true belief). Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan
adalah apa yang diketahui atauhasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil
kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai. Pengetahuan itu harus benar,
kalau tidak benar maka bukan pengetahuan tetapi kekeliruan atau kontradiksi.
Pengetahuan merupakan hasil suatu proses atau pengalaman yang sadar.
Pengetahuan
(knowledge) merupakan terminologi generik yang mencakup seluruh hal yang
diketahui manusia. Dengan demikian pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti
perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap
alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan.
Tujuan manusia mempunyai pengetahuan adalah:
a. Memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup
b. Mengembangkan arti kehidupan
c. Mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
d. Mencapai tujuan hidup.
Ada beberapa jenis
Pengetahuan yaitu:
a. Pengetahuan
biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa
mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b. Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara
khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam
dan luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c. Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga
yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai diluar dan
diatas pengalaman biasa.
d. Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat
para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini
oleh para pemeluk agama.
Pada suatu saat,
manusia ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya, dunia sekitarnya, oranglain,
yang baik dan yang buruk, yang indah dan jelek, dan macam-macam lagi. Jika
ingin mengetahui sesuatu, tentu ada suatu dorongan dari dalam diri manusia yang
mengajukan pertanyaan yang perlu jawaban yang memuaskan keingintahuannya.
Dorongan itu disebut rasa ingin mengetahui.
Sesuatu yang
diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang memuaskan manusia
adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang tidak benar adalah kekeliruan.
Keliru seringkali lebih jelek dari pada tidak tahu. Pengetahuan yang keliru
dijadikan tindakan/perbuatan akan menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan
malapetaka. Sasaran atau objek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada,
yang mungkin ada, yang pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian
manusia dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan
pengalamannya. Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara sadar
bahwa dia telah mengetahui.
Dalam hal ini
penulis berpendapat bahwa Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa
yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah
ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
A. Hakekat
Pengetahuan
Ada dua teori
yang digunakan untuk mengetahui hakekat Pengetahuan:
1. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan
adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.
2. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses
mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran
subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut pendapat atau penglihatan
orang yang mengalami dan mengetahuinya. Premis pokok adalah jiwa yang mempunyai
kedudukan utama dalam alam semesta.
B. Sumber
Pengetahuan
Ada beberapa
pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
1. Empirisme, menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman (empereikos= pengalaman). Dalam hal ini harus ada 3 hal, yaitu yang
mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman).
Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley (1685 -1753) dan
David Hume.
2. Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar
kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta
empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596 –1650, Baruch Spinoza (1632
–1677) danGottriedLeibniz (1646 –1716).
3. Intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba
tanpa melalui proses pernalaran tertentu. Henry Bergson menganggap intuisi
merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
4. Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang
terpilih untuk menyampaikannya (NabidanRosul). Melalui wahyu atau agama,
manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun
tidak terjangkau oleh manusia.
2. METODE ILMIAH
Kata metode berasal bahasa Yunani yaitu kata “methos” yang terdiri dari unsur
kata berarti cara, perjalanan sesudah, dan kata “kovos” berarti cara
perjalanan, arah. Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan secara
sistematik dari beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang
sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah.
Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut
Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki
langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode
ilmiah.
Proses kegiatan
ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah
yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu
tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang
dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata
pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan
fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia
fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang
dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung
oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah
pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah
yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan
pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Ada beberapa
teori yang menjelaskan tentang kebenaran, antara lain sebagai berikut:
1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau
keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
2. The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk
atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata
lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan
putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih
dahulu.
3. The pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa
benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada
berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori
tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta
yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan
tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai
kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi
Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran
mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin.
Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyu
2. Kebenaran spekulatif filsafat
3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang
dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena
ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini
karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja
mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan.
Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.
Menurut kajian
epistemologi terdapat beberapa metode untuk memperoleh pengetahuan, diantaranya
adalah :
1. Metode Empirisme
Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada
pengalaman yang bersifat empiris, yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat
kebenarannya melalui pengamalan indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan
bagaimana orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris adalah karena saya
melihatnya (secara inderawi/panca indera), maka pengetahuan diperoleh melalui
perantaraan indera. Menurut John Locke (Bapak Empirisme Britania) berkata,
waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan
didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal
merupakan sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme
berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek yang merangsang alat inderawi,
kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak,
sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi ini. Kesimpulannya adalah
metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme adalah berdasarkan
pengalaman inderawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera
manusia.
2. Metode
Rasionalisme
Berbeda dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode
untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti
rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan
sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan
melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal
budi dipahamkan sebagai :
a. Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
b. Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu
atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
3. Metode
Fenomenalisme
Immanuel Kant adalah filsuf Jerman abad XX yang melakukan kembali metode untuk
memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan
oleh David Hume terhadap pandangan yang bersifat empiris dan rasionalisme.
Menurut Kant, metode untuk memperoleh pengetahuan tidaklah melalui pengalaman
melainkan ditumbuhkan dengan pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran
akal rasionalisme. Syarat dasar bagi ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan
mutlak serta memberi pengetahuan yang baru. Menurutnya ada empat macam
pengetahuan :
a. Pengetahuan analisis a priori yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa
terhadap unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman,
atau yang ada sebelum pengalaman.
b. Pengetahuan sintesis a priori, yaitu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan
akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri yang mempersatukan dan
penggabungan dua hal yang biasanya terpisah.
c. Pengetahuan analitis a posteriori, yaitu pengetahuan yang terjadi sebagai
akibat pengalaman.
d. Pengetahuan sintesis a posteriori yaitu pengetahuan sebagai hasil keadaan
yang mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang berbeda.
Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang paling
sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan pemikiran akal, jadi
Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode
fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.
4. Metode
Intuisionisme
Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan melalui
intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau pengetahuan yang ada
perantaraannya. Menurut Henry Bergson, penganut intusionisme, intuisi adalah
suatu sarana untuk mengetahui suatu pengetahuan secara langsung. Metode
intuisionisme adalah metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bentuk perbuatan
yang pernah dialami oleh manusia. Jadi penganut intuisionisme tidak menegaskan
nilai pengalaman inderawi yang bisa menghasilkan pengetahuan darinya. Maka
intuisionisme hanya mengatur bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.
5. Metode Ilmiah
Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara
menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan bersama dan
dibentuk dengan ilmu. Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi 2 syarat
utama yaitu harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya dan harus cocok
dengan fakta-fakta empiris
Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan induktif
dimana rasionalisme dan empirisme berdampingan dalam sebuah sistem dengan
mekanisme korektif. Metode ilmiah diawali dengan pengalaman-pengalaman dan
dihubungkan satu sama lain secara sistematis dengan fakta-fakta yang diamati
secara inderawi. Untuk memperoleh pengetahuan dengan metode ilmiah diajukan
semua penjelasan rasional yang statusnya hanyalah bersifat sementara yang
disebut hipotesis sebelum teruji kebenarannya secara empiris. Hipotesis, yaitu
dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi.
Untuk memperkuat hipotesis dibutuhkan dua bahan-bahan bukti yaitu bahan-bahan
keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesis tersebut dan hipotesis
itu harus meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati yang memang demikian
keadaannya. Pada metode ilmiah dibutuhkan proses peramalan dengan deduksi.
Deduksi pada hakikatnya bersifat rasionalistis dengan mengambil premis-premis
dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut AR Lacey untuk menemukan kebenaran yang pertama kali dilakukan adalah
menemukan kebenaran dari masalah, melakukan pengamatan baik secara teori dan
ekperimen untuk menemukan kebenaran, falsification atau operasionalism (experimental
opetarion, operation research), konfirmasi kemungkinan untuk menemukan
kebenaran, Metode hipotetico – deduktif, Induksi dan presupposisi/teori untuk
menemukan kebenaran fakta
Kerangka berpikir yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait
di dalamnya.
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mubgkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasrakan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan.
c. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta
yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan itu di tolak atau diterima. Seandainya dalam pengujian terdapat
fakta-fakta yang cukup dan mendukung maka hipotesis tersebut akan diterima dan
sebaliknya jika tidak didukung fakta yang cukup maka hipotesis tersebut
ditolak. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian dari pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka
penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah
teruji kebenarannya.
3. PENGETAHUAN
ILMIAH
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan
sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan
menggunakan berbagai metode. Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara
objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala
dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat
objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan
pemikiran logik dan netral.
Secara defenitif,
logika dapat dipahami sebagai studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip
yang dipergunakan untuk membedakan penalaran yang lurus dari penalaran yang
tidak lurus. Arti lain dari logika itu adalah pengetahuan dan keterampilan
untuk berpikir lurus. Jadi logika itu berhubungan dengan kegiatan berpikir,
namun bukan sekedar berpikir sebagaimana merupakan kodrat rasional manusia
sendiri, melainkan berpikir lurus (E. Sumaryono, 1999:71). Dari defenisi itu
jelas bahwa logika itu terkait dengan “jalan berpikir” [metode], dan memuat
sejumlah pengetahuan yang sistematis dan berdasarkan pada hukum keilmuan
sehingga orang dapat berpikir dengan tepat, teratur dan lurus. Artinya,
ber-logika berarti belajar menjadi terampil. Karena itu kegiatan berlogika
adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melatih skill berpikir seseorang.
Berfikir dan
pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa
pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih
lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan
pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.
Gerak sirkuler
antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada
dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki
seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit
aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif
pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat
pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga
lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang
yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat
dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah
pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari
ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir biasa dan sederhana
menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial); (2) Berfikir
sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah
(ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan
filosofis (filsafat).
Dari ketiga jenis
berfikir tersebut, cara berfikir yang sistematis merupakan cara untuk
menghasilkan suatu pengetahuan ilmiah.
C. KESIMPULAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan
diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara,
teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan
adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan
intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya
untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan
diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode
ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa,
matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif
dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis
dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode
ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan
pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir
biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial);
(2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan
ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan
pengetahuan filosofis (filsafat).
DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Abbas,
1997, Epistemologi Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Hardono, Hadi,
1997, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:Kanisius.
Kartanegara,
Mulyadi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
Lubis, Mochtar,
1978, Manusia Indonesia, Jakarta: Yayasan Idayu.
Nasution, Andi
Hakim, 1988, Pengantar Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Suriasmantri,
Jujun S. , 2000, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan.
Watloly, Anoliab,
2005, Tanggung Jawab Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural
,Yogyakarta : Kanisius