1.
Perjanjian
Jual- Beli Barang Menurut KUHPerdata dan CISG
Sudikno
Mertokusumo (1996:103) mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian
itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu
perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance,
aanvaarding).
Dalam pasal 1457 KUHPerdata disebutkan
bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Jadi
pengertian jual-beli menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik
dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut
(Subekti, 1995: 1)
Perjanjian
jual-beli dalam KUHPerdata menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu,
atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan
hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli.
Sementara
itu, KUHPerdata mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak
bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan,
atau claim.
Ketentuan CISG tidak memberikan
definisi khusus mengenai perjanjian jual-beli barang internasional. Pasal 1
CISG hanya memberikan batasan lingkup penerapan dari ketentuan CISG tersebut.
Untuk
menentukan pengertian perjanjian internasional, akan dikutip doktrin yang
dikemukakan Martin Wolff (dalam Hamzah Rasyid, 1988: 111) bahwa contract is
means an agreement between two or more parties which in accordinance with their
intention, imposes a duty on at least one them, the promisor and creates for
the promises a right to clain fulfillment of promises.
Sedangkan pengertian perjanjian
internasional menurut Sidharta Gautama dalam Hamzah Rasyid (1998: 112) adalah
perjanjian-perjanjian yang mempunyai suatu foreign element.
Pasal 1 CISG menyebutkan bahwa:
a.
Konvensi
CISG akan berlaku terhadap kontrak jual-beli barang antara para pihak yang
tempat usahanya berada di Negara yang berlainan:
-
Bilamana
negara-negara tersebut adalah negara-negara peserta konvensi CISG.
-
Bilamana
peraturan hukum perdata international menyebabkan berlakunya hukum dari suatu
negara peserta.
b.
Fakta
bahwa para pihak mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berbeda akan
diabaikan bilamana ini tidak dinyatakan baik dalam kontrak maupun dalam
transaksi apapun antara, atau dari dari keterangan yang diungkapkan oleh para
pihak tersebut setiap saat sebelum atau pada saat penyelesaian kontrak
tersebut.
c.
Baik
kebangsaan para pihak tersebut, maupun sifat perdata atau perdagangan dari para
pihak ataupun dari kontrak tidak akan dipertimbangkan dalam menentukan
berlakunya konvensi.
Dari
rumusan pasal 1 CISG dapat dilihat bahwa perjanjian yang dimaksud harus
memiliki karakter internasional sebagaimana kriteria dalam pasal1 ayat 1 CISG.
Mengenai
barang, CISG juga tidak mendefinisikan secara langsung tetapi memberi batasan
tentang barang yang dikecualikan oleh CISG.
Pasal 2 CISG menentukan bahwa:
Konvensi CISG tidak berlaku terhadap
jual-beli:
a.
Barang
yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah, kecuali penjual,
setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui atau
tidak mengetahui atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli
adalah untuk keperluan tersebut di atas;
b.
Melalui
lelang;
c.
Melalui
eksekusi atau karena wewenang hukum ;
d.
Obligasi,
saham, investmen securities, kertas berharga, atau uang;
e.
Kapal,
kendaraan terapung, hoverecraft atau pesawat terbang;
f.
Listrik.
Dari
rumusan pasal 2 CISG nampak bahwa konvensi CISG hanya diterapkan pada barang
bergerak dan barang berwujud kecuali yang disebut diatas. Transaksi mengenai
benda tidak bergerak, lebih bersifat domestik daripada international.
2.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian
a.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak dalam KUHPerdata
1)
Hak
dan Kewajiban Penjual
Penjual
memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan barang
menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat
tersembunyi. Sebaliknya embeli memiliki hak atas pembayaran harga barang, hak
untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518 KUHPerd dan hak reklame.
2)
Hak
dan Kewajiban Pembeli.
Pembeli
berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut
penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan
pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian.
Harga
tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh
undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu
pihak ada barang dan dilain pihak ada uang (Subekti, 1995: 21).
b.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak dalam CISG.
Ketentuan
CISG hanya mengatur secara khusus mengenai kewajiban para pihak sebagaimana
ditentukan dalam bab II tentang kewajiban penjual dan bab III yang menyebutkan
tentang kewajiban pembeli. Secara timbal balik dapat disimpulkan bahwa
kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli demikian pula sebaliknya.
1)
Kewajiban
Penjual Menurut CISG
a)
Menyerahkan
barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak (pasal
30).
b)
Jika
penjual tidak tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang
ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut
pertama untuk diserhkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk
diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a).
c)
Penjual
harus menyerahkan barang-barang:
-
Pada
tanggal yang ditentukan.
-
Dalam
jangka waktu yang ditentukan.
-
Dalam
jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal
33).
d)
Penjual
harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan
yang ditentukan dalam kontrak (pasal 35 ayat 1).
e)
Penjual
harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga
kecuali pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut (pasal 41).
2)
Kewajiban
Pembeli Menurut CISG.
a)
Pembeli
harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan
(pasal 53-54).
b)
Jika
pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu maka
pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahkan barang dan dokumen
dilakukan (pasal 57 ayat 1).
c)
Pembeli
harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak
(pasal 59).
d)
Jika
waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayar nya
ketika penjual menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli (pasal
59 ayat 1).
B. Upaya Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Jual Beli Barang Menurut Ketentuan CISG dan KUHPerdata
Dalam
CISG upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada
pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach of
contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam KUHPerdata
upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam pasal
1236-1243 KUHPerdata dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus yang
masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda.
Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerdata.
Upaya Hukum dalam Breach of Contract.
1.
Bagi
Pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG dan 74-77 CISG.
a.
Pembeli
berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang.
b.
Pembeli
berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi.
c.
Pembeli
berhak meminta pembatalan perjanjian.
d.
Pembeli
berhak meminta penurunan harga.
2.
Bagi
Penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG dan 74-77 CISG.
a.
Penjual
berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar harga,
menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk melakukan
kewajiban.
b.
Penjual
berhak meminta pembatalan perjanjian.
c.
Penjual
berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 74-77 CISG).
Upaya-upaya
hukum yang diatur dalam CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian
sebagaimana diatur dalam pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak
menggunakan upaya hukum lainnya.
Upaya Hukum dalam Fundamental Breach.
Pasal
25 CISG menegaskan pengertian dari fundamental breach sebagai berikut.
Suatu
pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak akan bersifat
mendasar apabila pelanggaran ini akan menimbulkan kerugian pada pihak lainnya
sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh apa yang
diharapkan menurut perjanjian tersebut, kecuali pihak yang melakukan
pelanggaran tersebut memang tidak dapat memperkirakan sebelumnya terjadinya hal
tersebut, maupun siapapun lainnya dalam keadaan yang sama seperti dirinya akan
secara wajar tidak dapat memperkirakan akibatnya yang demikian.
Sebagai
akibat hukum dari fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta
pembatalan perjanjian vide pasal 26 CISG.
Upaya Hukum dalam Anticipatory Breach.
1. Para Pihak Berhak Meminta Penundaan Pelaksanaan
Perjanjian
Berdasarkan pasal 71 CISG,
baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak
lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat
dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau
kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau
pelaksanaan perjanjian tersebut.
2.
Para
Pihak Berhak Meminta Pembatalan Perjanjian.
Menurut pasal 72 CISG apabila sebelum
tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak akan
melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak
lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan.
Dalam
hal penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk
melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu
dapat dimintakan pembatalan perjanjian.
Namun
demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi
perjanjian. Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku
atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban
para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan
perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut ganti
kerugian.
Dalam
perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh
salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat
dituntut oleh pihak lain.
Pihak yang berhak menuntut disebut
pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan
disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu yang dapat
dituntut disebut dengan istilah prestasi.
Prestasi
dalam KUHPerd dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang,
melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Jika
seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut
dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim.
Subekti
(1990: 45) mengklasifikasi tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu:
1.
Tidak
melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;
2.
Melaksanakan
apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
3.
Melakukan
apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun
Pitlo (1988: 55) berpendapat bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor
mempunyai kesalahan. Kesalahan adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan.
Kesengajaan terjadi jika debitor secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya.
Kealpaan terjadi jika debitor dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi
dan debitor dapat disalahkan karena tidak mencegahnya.
Demikian
demikian seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya
kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan.
Van
Dume (1989: 31) menyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor
yang dirugikan dari perikatan timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas
berbagai macam kemungkinan tuntutan, yaitu:
1.
Menuntut
prestasi saja;
2.
Menuntut
prestasi dan ganti rugi;
3.
Menuntut
ganti rugi saja;
4.
Menuntut
pembatalan perjanjian;
5.
Menuntut
pembatalan perjanjian dan ganti rugi.
Hal
tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditor,
agar dapat mempertahankan kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur.
Namun
demikian, hukum juga memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor
yang tiddak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan
atau kelalaian.
Subekti
(1985: 55) mengemukakan bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih
dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa:
1.
Mengajukan
tuntutan adanya keadaan memaksa;
2.
Mengajukan
bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;
3.
Mengajukan
bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Ketentuan
mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUHPerdata dapat ditemui dalam pasal
1244 dan 1245 KUHPerdata. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor
yang telah beritikad baik.
Namun
demikian, Pitlo (1988: 65) menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan
wanprestasi, maka debitor tidak dapat lagi membebaskan diri dengan dasar
keadaan memaksa yang terjadi setelah debitor debitor ingkar janji.
Halangan
debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara
teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak.
Prodjodikoro
(1989: 56) menyatakan bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu
menyebabkan janji sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan
bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji
masih mungkin tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari pihak yang
berwajib sedemikian rupa sehingga patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan
janji itu dianggap tidak ada atau lenyap.